Kamis, 05 November 2015

"Tuhan memang satu, kita yang tak sama."

Petir yang menggelegar di luar sana membuatku melepas genggamanku pada cangkir ketiga kopi pahitku malam ini.
Cangkir putih susu itu terjun bebas dan langsung terpecah belah di lantai ruang kerjaku lengkap dengan kopi pahitku yang baru dua kali kuteguk.
Kenangan itu menghantam benakku kembali ketika aku memandang cangkirku yang berserakan.
Ternyata kita sesederhana itu; sesederhana cangkir dan kopi pahit itu.
Aku cangkirnya dan kamu kopi pahitnya.
Kita paradoks; terlihat begitu berbeda.
Aku putih, kamu hitam.
Tapi, meskipun hitam kelam warnamu, pahit pekat rasamu, kamu akan selalu jadi canduku.

Tapi, kita juga serumit itu; serumit pemilik cangkir yang menghempaskan cangkirnya hingga terpecah-belah.
Iya, kita seperti itu.
Pemilik pribadi kita berdua--yang kita sebut dengan panggilan Tuhan--sedang menghempaskan kita hingga hancur berkeping-keping.
Tuhan memang satu, kita yang berbeda.
Kita sama-sama beribadah pada-Nya, namun dengan cara yang sedikit berbeda.
Kamu di sana berlutut menghadap kiblat sambil menggenggam tasbih.
Sedangkan aku disini mengakui imanku dengan lantang melalui Pengakuan Iman Rasuli.
Namun, pemilik dan pencipta kita satu, kan?
Apa Dia yang penuh dengan cinta sedang mempermainkan kita?
Aku tertawa miris, merutuki diriku sendiri.
Cinta memisahkan cinta? Bagaimana bisa?

Namun, sekali lagi aku terenyuh; melihat dua cangkir kosong di meja kerjaku.
Cangkir itu juga milikku, sama seperti cangkir yang berserakan di hadapanku.
Aku sadar; aku bisa saja melempar cangkir itu juga hingga pecah berserakan.
Inilah kehidupanku dan kehidupanmu, sebagai milik-Nya.
Apalah hak kita sebagai milik-Nya?
Pada akhirnya, Dia yang menentukan jalan hidup kita.
Mungkin menurut-Nya, cangkir putih tak begitu cocok dengan kopi pahit berwarna hitam kelam.
Cangkir putih mungkin lebih cocok diisi dengan teh manis pelengkap cemilan sore.
Mungkin menurut-Nya, kopi pahit lebih cocok mengisi gelas beling atau cangkir yang lebih kecil; seperti espresso.

Aku menghela nafas dan berjongkok sambil mengambil satu persatu pecahan cangkirku.
Aku mendesis; jariku tergores.
Cairan kental berwarna merah menerobos keluar dari jari telunjukku.
Sakit, tentu saja.
Jikalau begitu, apa pemilikku pernah tersakiti oleh perlakuan sesuatu milik-Nya?
Aku terdiam. Hatiku masih saja berdentam menginginkanmu kembali. Tapi, apa daya?
Aku dan kamu, hanya sebagian kecil dari milik-Nya.

Setidaknya kita pernah saling melengkapi, walau hanya sebentar.
Oleh karena itu, mari kita saling berbahagia.

Selamat tinggal, kasihku.

©Joy Christine

Abstract Writing (2)

Bernafas atau hidup, apa bedanya?
Gelembung yang melingkupi kantung matanya
Rintihan yang tersenandung dari bibirnya
Cibiran yang terdengar oleh telinganya
Remuk hatinya, telanjang pikirannya
Coba beritahu aku, kawan lama
Bernafas atau hidup, apa bedanya?

©Joy Christine

Abstract Writing

Layaknya mawar, daya pikatmu sungguh luar biasa
Kemolekan tubuhmu tak bisa dihalangi sehelai kain yang membalut ragamu
Hitam kelam iris matamu bagai pusaran tak berujung
Merah delima bibirmu mengundang untuk dikecup

Tapi, layaknya mawar, kau penuh dengan duri
Tetes darah mereka tak berarti apa-apa untukmu
Rintihan kesakitan mereka bagai melodi di telingamu
Dan kau diam di sana, masih dengan daya pikatmu

Tapi, apakah kau tahu?
Layaknya mawar, dirimu terlalu rapuh untuk bertahan
Kau tak dapat bertahan dalam gelora dunia ini
Paling jelita, namun paling cepat layu dan mati
Kamu layaknya mawar, sadarkah dirimu?

©Joy Christine